Syekh Ahmad Al’Muhammad.
Hari itu meskipun cuaca kurang mendukung tapi tidak menyurutkan niatan untuk menelusuri jejak para penyebar Islam di wilayah Kabupaten Banyumas. Salah satu situs pelaku siar Islam yang keberadaannya masih terjaga hingga saat ini adalah makam Syekh Ahmad Al’Muhammad, tempat yang lebih dikenal dengan sebutan "Makam Dalem Santri" ini berada di Desa Kutaliman, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas.
Sebuah papan petunjuk bertuliskan MAKAM DALEM SANTRI terpampang disebelah Utara Kantor Desa Kutaliman, cukup menjelaskan letak keberadaannya juga memudahkan bagi para peziarah. Berada sekitar 300 meter dari jalan utama desa, menuju makam ditempuh melalui jalan kecil dengan pengerasan dari batu kali. Jalan yang hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat ini akan terasa licin bila diguyur hujan. Namun, hal itu tentu tidak menjadi rintangan bila niatan sudah bulat maka perjalanan pun menjadi menyenangkan.
Sampai di komplek Makam Dalem Santri suasana hening begitu terasa, tempat yang sunyi dan jauh dari pemukiman warga dirasa pas untuk sekedar memenangkan diri. Makam Dalem Santri dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang diduga sudah berumur ratusan tahun, dengan tumpukan batu yang tertata rapi dan berlumut memberi kesan keramat yang menyatu dengan alam. Komplek makam dilengkapi sebuah pendopo kecil diperuntukan bagi peziarah yang hendak menyepi.
Dari penuturan Ki Sarno yang paham akan sejarah Dalem Santri, menuturkan keberadaan beberapa makam yang ada disana. Selain makam Syekh Ahmad Al’Muhammad juga ada empat makam tua yang dipercaya sebagai makam Prabu Anom, Raga Patra, Engrang Jaya, dan Siti Zulaikha. Daerah yang kini menjadi Makan Dalem Santri sebelumnya merupakan pesantren yang dipimpin oleh Syekh Mudhakir atau yang lebih dikenal dengan nama Eyang Kepadangan.
Mengawali kisah yang melatarbelakangi keberadaan Makam Dalem Santri, Konon pesantren Eyang Kepadangan kedatangan seorang putra raja dari Kerajaan Sukowati yang bernama Raden Parto Kusumo. Kedatangannya tidak lain untuk belajar ajaran Islam di pesantren tersebut. Sang putra raja datang dengan seekor gajah sebagai tumpangannya.
Selanjutnya Eyang Kepadangan bersedia mengangkat Raden Parto Kusumo sebagai murid dengan syarat mau menanggalkan gelar kebangsawanannya. Syarat itupun diterima Raden Parto Kusumo yang kemudian berganti nama menjadi Syekh Ahmad Al’Muhammad.
Seperti tidak mau ketinggalan junjungannya, gajah yang menjadi tunggangan Raden Parto Kusumo juga memilih untuk bertapa disebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari pesantren. Setelah bertapa, si gajah pun akhirnya bisa mengerti bahasa manusia. Lalu gajah itupun dititipkan pada Empu Parmadi di Kutaluhur yang letaknya disebuah bukit. Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Gupakan Gajah.
Kisah berlanjut hingga akhirnya Eyang Kepadangan pun tutup usia. Namun, sebelum kepergiannya sudah berpesan kepada Syekh Ahmad Al’Muhammad agar menyebarkan ajaran Islam di Banyumas. Sedangkan pesatren yang menjadi peninggalannya diberi nama Kutaliman yang berarti kuta yaitu Kota dan liman yang berarti gajah. Kutaliman atau kota gajah, demikian dalam cerita Makam Dalem Santri dan asal usul nama Kutaliman yang dikisahkan oleh Ki Sarno.
Makam Dalem Santri banyak dikunjungi para peziarah dari Banyumas dan sekitarnya. Selain makam Syekh Ahmad Al’Muhammad, empat makam lainnya yang berada disebelah Timur juga tidak pernah sepi dari peziarah. Dari informasi yang beredar dan di iyakan oleh Ki Trisno juru kunci Makam Dalem Santri, berziarah keempat makam tersebut (Prabu Anom, Raga Patra, Engrang Jaya, dan Siti Zulaikha) dipercaya dapat mendatangkan pengasihan, penglaris, dan sejenisnya. Namun, semua hanya sebagai syareatnya saja karena hakikatnya tetap kembali kepada Allah SWT.
Hari itu meskipun cuaca kurang mendukung tapi tidak menyurutkan niatan untuk menelusuri jejak para penyebar Islam di wilayah Kabupaten Banyumas. Salah satu situs pelaku siar Islam yang keberadaannya masih terjaga hingga saat ini adalah makam Syekh Ahmad Al’Muhammad, tempat yang lebih dikenal dengan sebutan "Makam Dalem Santri" ini berada di Desa Kutaliman, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas.
Sebuah papan petunjuk bertuliskan MAKAM DALEM SANTRI terpampang disebelah Utara Kantor Desa Kutaliman, cukup menjelaskan letak keberadaannya juga memudahkan bagi para peziarah. Berada sekitar 300 meter dari jalan utama desa, menuju makam ditempuh melalui jalan kecil dengan pengerasan dari batu kali. Jalan yang hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat ini akan terasa licin bila diguyur hujan. Namun, hal itu tentu tidak menjadi rintangan bila niatan sudah bulat maka perjalanan pun menjadi menyenangkan.
Sampai di komplek Makam Dalem Santri suasana hening begitu terasa, tempat yang sunyi dan jauh dari pemukiman warga dirasa pas untuk sekedar memenangkan diri. Makam Dalem Santri dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang diduga sudah berumur ratusan tahun, dengan tumpukan batu yang tertata rapi dan berlumut memberi kesan keramat yang menyatu dengan alam. Komplek makam dilengkapi sebuah pendopo kecil diperuntukan bagi peziarah yang hendak menyepi.
Dari penuturan Ki Sarno yang paham akan sejarah Dalem Santri, menuturkan keberadaan beberapa makam yang ada disana. Selain makam Syekh Ahmad Al’Muhammad juga ada empat makam tua yang dipercaya sebagai makam Prabu Anom, Raga Patra, Engrang Jaya, dan Siti Zulaikha. Daerah yang kini menjadi Makan Dalem Santri sebelumnya merupakan pesantren yang dipimpin oleh Syekh Mudhakir atau yang lebih dikenal dengan nama Eyang Kepadangan.
Mengawali kisah yang melatarbelakangi keberadaan Makam Dalem Santri, Konon pesantren Eyang Kepadangan kedatangan seorang putra raja dari Kerajaan Sukowati yang bernama Raden Parto Kusumo. Kedatangannya tidak lain untuk belajar ajaran Islam di pesantren tersebut. Sang putra raja datang dengan seekor gajah sebagai tumpangannya.
Selanjutnya Eyang Kepadangan bersedia mengangkat Raden Parto Kusumo sebagai murid dengan syarat mau menanggalkan gelar kebangsawanannya. Syarat itupun diterima Raden Parto Kusumo yang kemudian berganti nama menjadi Syekh Ahmad Al’Muhammad.
Seperti tidak mau ketinggalan junjungannya, gajah yang menjadi tunggangan Raden Parto Kusumo juga memilih untuk bertapa disebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari pesantren. Setelah bertapa, si gajah pun akhirnya bisa mengerti bahasa manusia. Lalu gajah itupun dititipkan pada Empu Parmadi di Kutaluhur yang letaknya disebuah bukit. Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Gupakan Gajah.
Kisah berlanjut hingga akhirnya Eyang Kepadangan pun tutup usia. Namun, sebelum kepergiannya sudah berpesan kepada Syekh Ahmad Al’Muhammad agar menyebarkan ajaran Islam di Banyumas. Sedangkan pesatren yang menjadi peninggalannya diberi nama Kutaliman yang berarti kuta yaitu Kota dan liman yang berarti gajah. Kutaliman atau kota gajah, demikian dalam cerita Makam Dalem Santri dan asal usul nama Kutaliman yang dikisahkan oleh Ki Sarno.
Makam Dalem Santri banyak dikunjungi para peziarah dari Banyumas dan sekitarnya. Selain makam Syekh Ahmad Al’Muhammad, empat makam lainnya yang berada disebelah Timur juga tidak pernah sepi dari peziarah. Dari informasi yang beredar dan di iyakan oleh Ki Trisno juru kunci Makam Dalem Santri, berziarah keempat makam tersebut (Prabu Anom, Raga Patra, Engrang Jaya, dan Siti Zulaikha) dipercaya dapat mendatangkan pengasihan, penglaris, dan sejenisnya. Namun, semua hanya sebagai syareatnya saja karena hakikatnya tetap kembali kepada Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar