Syeh Magelung Sakti
Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias Pangeran Karangkendal.
Konon Syekh Magelung Sakti berasal dari negeri Syam (Syria), hingga kemudian dikenal sebagai Syarif Syam. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Yaman.
Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang, rambutnya sendiri panjangnya hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering mengikat rambutnya (gelung). Sehingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung).
Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang ialah karena rambutnya tidak bisa dipotong dengan apapun dan oleh siapapun. Karenanya, kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari siapa yang sanggup untuk memotong rambut panjangnya itu. Jika ia berhasil menemukannya, orang tersebut akan diangkat sebagai gurunya. Hingga akhirnya ia tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.
Pada sekitar abad XV di Karangkendal hidup seorang yang bernama Ki Tarsiman atau Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya bernama Nyi Sekar. Diduga, mereka itulah orang tua angkat Syarif Syam di Cirebon.
Konon, Syarif Syam datang di pantai utara Cirebon mencari seorang guru seperti yang pernah ditunjukkan dalam tabirnya, yaitu salah seorang waliyullah di Cirebon. Dan di sinilah ia bertemu dengan seorang tua yang sanggup dengan mudahnya memotong rambut panjangnya itu. Orang itu tak lain adalah Sunan Gunung Jati.
Syarif Syam pun dengan gembira kemudian menjadi murid dari Sunan Gunung Jati, dan namanya pun berubah menjadi Pangeran Soka (asal kata suka). Tempat dimana rambut Syarif Syam berhasil dipotong kemudian diberinama Karanggetas.
Setelah berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon, Syarif Syam alias Syekh Magelung Sakti diberi tugas mengembangkan ajaran Islam di wilayah utara. Ia pun kemudian tinggal di Karangkendal, Kapetakan, sekitar 19 km sebelah utara Cirebon, hingga kemudian wafat dan dimakamkan di sana hingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Pangeran Karangkendal.
Sesuai cerita yang berkembang di tengah masyarakat atau orang-orang tua tempo dulu, pada masa lalu Syekh Magelung Sakti menundukkan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Indramayu, sehingga anak buah Ki Tarsana tersebut yang berupa makhluk halus pun turut takluk. Namun, makhluk gaib melalui Ki Tersana meminta syarat agar setiap tahunnya diberi makan berupa sesajen rujak wuni. Dari cerita inilah selanjutnya, tradisi menyerahkan sesajen daging mentah tersebut berlangsung setiap tahun di Karangkendal.
Sosok Syekh Magelung Sakti tidak dapat dilepaskan dari Nyi Mas Gandasari, yang kemudian menjadi istri beliau. Pertemuan keduanya terjadi saat Syekh Magelung Sakti yang di kenal juga sebagai Pangeran Soka, ditugaskan untuk berkeliling ke arah barat Cirebon. Pada saat ia baru saja selesai mempelajari tasawuf dari Sunan Gunung Jati, dan mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari pasangan hidupnya.
Babad Cerbon juga tidak jelas menyebutkan siapakah yang dimaksud sebagai putri Mesir itu. Namun, menurut masyarakat di sekitar makam Nyi Mas Gandasari di Panguragan, dipercaya bahwa Nyi Mas Gandasari berasal dari Aceh, adik dari Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oleh Ki Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak, saat sepulangnya menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari, yang sebenarnya adalah putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah), merupakan salah satu murid di pesantren Islam putri yang didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.
Konon, karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, telah berhasil menipu pangeran dari Rajagaluh, sebuah negara bawahan dari kerajaan Hindu Galuh-Pajajaran (yang kemudian menjadi raja dan bernama Prabu Cakraningrat). Pada waktu itu, Cakraningrat tertarik untuk menjadikannya sebagai istri. Tak segan-segan ia pun diajaknya berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan, bahkan sampai dengan ke tempat-tempat yang amat rahasia. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas Gandasari untuk kemudian menyerang Rajagaluh.
Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon waktu itu dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya, Nyi Mas Gandasari, segera menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati, gurunya, keinginan ayahnya tersebut disetujui Putri Selapandan dengan syarat calon suaminya harus pria yang memiliki ilmu lebih dari dirinya.
Meskipun telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu saja dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikutinya tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Seperti Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede Kapringan serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu Awang atau Kyai Jangkar berhasil dikalahkannya.
Hingga akhirnya Pangeran Soka memasuki arena sayembara. Meskipun keduanya tampak imbang, namun karena faktor kelelahan Nyi Mas Gandasari pun akhirnya menyerah dan kemudian berlindung di balik Sunan Gunung Jati.
Namun, Pangeran Soka terus menyerangnya dan mencoba menyerang Nyi Mas Gandasari dan hampir saja mengenai kepala Sunan Gunung Jati. Tetapi sebelum tangan Pangeran Soka menyentuh Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati pun kemudian membantunya dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Namun, kemudian keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati.
Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif Sam dikenal sebagai tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi pada zamannya. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan sebagai tempat ia melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut. Sampai dengan akhir hayatnya, Syekh Magelung Sakti dimakamkan di Karangkendal, dan sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai daerah.
Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur peninggalan tokoh ulama tersebut, padasan kramat, depok (semacam pendopo) Karangkendal, jramba, kroya, pegagan, dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman yang berisi pesekaran, paseban, serta makam Syekh Magelung Sakti sendiri.
Berjauhan dengan makam suaminya Syekh Magelung Sakti, makam Nyi Mas Gandasari terdapat di Panguragan, sehingga ia kemudian dikenal juga sebagai Nyi Mas Panguragan.
===============
kisah lain dari sumber lain juga.....
Terpotongnya Rambut Syeikh Magelung Sakti
Berbeda dengan yang lain, ternyata, rambut Arifin Syam yang akhirnya dikenal sebagai Mohammad Syam Magelung Sakti, tak pernah bisa dipotong sejak lahir ….
Berbeda dengan anak-anak seusianya, Arifin Syam, yang namanya diambil dari kota tempatnya dibesarkan, negara Syam, tergolong bocah yang jenius, tak salah jika pada usia 7 tahun, di kalangan guru dan Para pendidiknya ia telah menyandang panggilan sebagai sufi cilik. Agaknya inilah yang menyebabkan kenapa di kala itu ia menjadi anak yang diperebutkan di kalangan guru besar di seluruh negara bagian Timur Tengah, bahkan di usia 11 tahun, ia telah mampu menempatkan posisinya sebagai pengajar termuda di berbagai tempat ternama, misalnya Madinah, Makkah, istana raja Mesir, Masjidil Agso, Palestina, dan berbagai tempat ternama lainnya.
Walau begitu, ia banyak dihujat oleh ulama fukkoha, maklum, kian hari rambutnya kian memanjang tak terurus, sehingga dalam pandangan para ahlul fikokkha, Arifin Syam, terkesan bukan sebagai seorang pelajar sekaligus pengajar religius yang selalu mengedepankan tatakrama. Pelecehan dan hinaan yang kerap diterimanya, membuat Arifin Syam mengasingkan diri selama beberapa tahun di salah satu goa di daerah Haram, Mekah.
Sejatinya bukan karna Arifim Syam tak mau mencukur rambutnya yang lambat laun jatuh menjuntai ke tanah, tapi apa daya, walau telah ratusan bahkan ribuan kali berikhtiar ke belahan dunia lain, tetapi, ia belum pemah mendapatkan seseorang yang mampu memotong rambutnya itu. Menurut tutur yang berkembang, sejak dilahirkan ke alam dunia, rambut Arifin Syam memang sudah tidak bisa dipotong oleh sejenis benda tajam apapun. Dan kisah ini terus berlanjut hingga dirinya mencapai usia 40 tahun.
Dan pada usia 30 tahun, Arifin Syam diambil oleh istana Mesir untuk menjadi panglima perang dalam mengalahkan pasukan Romawi dan Tartar. Dari sinilah namanya mulai masyhur di kalangan masyarakat luas sebagai panglima perang tersakti di antara para panglima perang yang ada sebelumnya. Betapa tidak, jika kala itu kepiawaian seorang panglima perang bisa terlihat pada saat mengatur strategi perang serta keandalannya memainkan pedang, tombak serta ketepatan dalam memanah. Berbeda dengan Arifin Syam yang akhimya dikenal dengan sebutan Panglima Mohammad Syam Magelung Sakti, ia selalu mengibaskan rambutnya yang panjang dan keras mirip kawat baja ke arah musuh-musuhnya. Akibatnya sudah dapat diduga, para musuh tak ada yang berani mendekat, dan lari pontang-panting karenanya. Sampai di usia 32 tahun, selama 12 tahun kemasyhurannya sebagai sosok panglima perang berambut sakti itu benar-benar tak tertandingi. Hingga pada usia 34 tahun ia secara rohaniah bertemu langsung dengan Nabiyulloh Hidir AS, yang mengharuskannya mencari guru mursyid sebagai pembimbingnya untuk menuju maqom kewalian kamil.
Dan tanpa banyak pertimbangan, ia langsung meninggalkan istana raja Mesir yang saat itu benar-benar amat membutuhkan tenaganya. Tak hanya itu, bahkan ia juga rela meninggalkan seluruh murid-rnuridnya yang ingin lebih mengenal atau mendalami ilmu-ilmu Allah SWT. ‘Ya .. saat itu, namanya memang sudah sangat mahsyur di kalangan ahli Sufi sebagai sosok yang sangat paham akan ilmu Allah secara menyeluruh (waliyulloh).
Dengan perbekalan secukupnya dan berteman ratusan kitab, Mohammad Syam Magelung Sakti pun mulai mengarungi belahan dunia dengan menggunakan jukung (sejenis perahu kecil bercadik).
Dalarn perjalanan kali ini, ia pun mulai singgah dan bahkan mendatangi beberapa ulama terkenal untuk menerimanya sebagai murid, di antaranya adalah Syeikh Dzatul Ulum, Libanon, Syeikh Attijani, Yaman bagian Selatan, Syeikh Qowi bin Subhan bin Arsy, Beirut, Syeikh Assamargondi bin Zubair bin Hasan, India; Syeikh Muaiwiyyah As- Salam, Malaita, Syeikh Mahmud, Yarussalem, Syeikh Zakariyya bin Salam bin Zaab;Tunisia, Syeikh Marwan bin Sofyan Siddrul Muta’alim, Campa, dan masih banyak yang lainnya. Tapi, walau begitu banyak Para waliyulloh yang didatangi, tapi, tak satupun di antara mereka yang mau menerimanya. Bahkan, hampir semuanya berkata, “Sesungguhnya akulah yang meminta agar menjadi muridmu wahai sang Waliyulloh. “
Dengan perasaan kecewa yang teramat mendalam, akhimya, beliau pun mulai meninggalkan mereka untuk terus mencari guru mursyid yang diinginkannya. Waktu terus berjalan pada porosnya, hingga suatu hari, beliau bertemu dengan seorang pertapa sakti bangsa Sanghyang yang bemama Resi Purba Sanghyang Dursasana Prabu Kala Sengkala, diperbatasan selat Malaka. “Wahai Kisanak, datanglah ke pulau Jawa. Sesungguhnya disana telah hadir seorang pembawa kebajikan bagi seluruh waliyulloh, benamkan hati dan pikiranmu di telapak kakinya, sesungguhnya beliau mengungguli semua waliyulloh yang ada,” katanya dengan santun.
Mendengar itu, beliau sangat senang dan seketika minta diri untuk langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke Pulau Jawa. Dan setibanya di pesisir Pulau Jawa, beliau pun singgah di suatu pedesaan sambil tiada hentinya bertafakur memohon kepada Allah SWT agar dirinya dapat dipertemukan dengan mursyid yang selama ini diimpi-impikannya. Dan tepat pada malam Jum’at Kliwon, di tengah keheningan malam, tiba-tiba beliau dikejutkan oleh uluk salam dari seseorang “Assalamu’alaikum Ya Akin ‘min ahli wilayah.” Dengan serta merta dan sedikit gugup, beliau pun menjawabnya, “Waalaikum’salam Ya Nabiyulloh Hidir AS yang telah membawaku ke pintu Rohmatallil’alamin,
“Lima tahun sudah mencari ridhoku dan kini ananda telah mendapatkannya. Untuk itu datanglah segera ke kota Cirebon, temuilah Syarif Hidayatulloh. Sesungguhnya dialah yang mempunyai derajat raja dengan maqom Quthbul Muthlak,” terang Nabiyulloh Hidir AS, sambil menghilang dari pandangannya.
Tak perlu berlama-lama, dengan semangat yang menggebu beliau pun langsung mengayuh jukung-nya menuju Cirebon. Sementara, di tempat lain, lewat maqom-nya Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati sudah mengetahui kedatangan Mohammad Syam Magelung Sakti... Seketika, beliau langsung mengutus uwak sekaligus mertuanya, Mbah Kuwu Cakra Buana untuk menjemput tamunya di pelabuhan Cirebon.
Singkat cerita, setibanya di tempat pertemuan yang telah ditentukan oleh Sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu sengaja tidak langsung menghadapkan tamunya kepada Syarif Hidayatulloh tetapi mengujinya terlebih dahulu. Dalam pemahaman ilmu Tauhid, hal semacam ini biasa dikenal dengan Tahkikul ‘Ubudiyyah FissifatirRobbaniah yang artinya adalah meyakinkan tingkat ke-walian seseorang dan Nur Robbani yang dipegangnya.
Manakala sang tamu Mohammad Syam Magelung Sakti berhadapan dengan Mbah Kuwu Cakra Buana, beliau pun langsung uluk salam dan bertanya, “Wahai Kisanak, tahukah Andika di mana saya bisa bertemu dengan Sunan Gunung Jati?”
Alih-alih dijawab, Mbah Kuwu malah balik bertanya, “Sudahkah Kisanak mendirikan sholat Dhuhur setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh itu?”
Mohammad Syam langsung mengangguk dan mengakui bahwa dirinya memang belum melaksanakan sholat Dhuhur. Mbah Kuwu pun langsung mengambil satu bumbung (mas bambu-Ted) kecil dan berkata “Masuk dan sholat-lah berjamaah denganku’.
Sambil terheran-heran, Mohammad Syam mengikuti langkah-manusia aneh di hadapannya yang tak lain adalah Mbah Kuwu Cakra Buana, dan masuk ke dalam bumbung – yang di dalamnya ternyata sangat luas dan terdapat sebuah musholla besar yang sangat anggun.
Seusai mendirikan sholat Dhuhur, Mbah Kuwu pun mengajak tamunya menuju kota Cirebon. Tetapi, sebelum sampai di tujuan, atas hawatif yang diterimanya dari Sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu langsung memotong rambut tamunya dan seketika menghilang dari hadapan Mohammad Syam Magelung Sakti. Tahu rambutnya telah terpotong, Mohammad Syam Magelung Sakti berkeyakinan bahwa manusia tadi (sejatinya adalah Mbah Kuwu), pastilah Sunan Gunung Jati. Dengan serta merta, beliau langsung memanggilnya tiada henti ….
Kini, tempat terpotongnya rambut Syeikh Magelung Sakti, masih dilestarikan sebagai nama salah satu desa, yakni Desa Karang Getas, yang letaknya di sebelah selatan Kantor Walikota Cirebon. Dan tahukah Anda berapa panjang rambut Syeikh Magelung Sakti, sesungguhnya? Temyata, 340 m, atau sepanjang Jalan Karang Getas, antara perbatasan Desa Pagongan hingga lampu merah Pasar Kanoman. Dan panjang rambut Syeikh Magelung Sakti ini sudah mendapat persetujuan sekaligus restu dari beberapa ulama khosois, misalnya, Syeikh Aulya’ Nur Ali, Syeikh Kamil Ahmad Trusmi, Syeikh Ahmad Sindang Laut, SyeikhAsnawi bin Subki Gedongan.
Karena tak mendapat sahutan, maka, dengan bersemangat Mohammad Syam terus mencari keberadaan Sunan Gunung Jati yang dianggapnya sudah mampu memotong rambutnya itu hingga sampai pada suatu tempat, dan tanpa sadar beliau masuk di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang mengikuti perlombaan untuk mendapatkan seorang putri nan cantik jelita, Nyimas Gandasari Panguragan. Tanpa sadar, kakinya yang terus melangkah itu masuk ke tengah-tengah arena.
Mengetahui ada lawan baru yang masuk ke arena, seketika, Nyimas Gandasari pun langsung menyerangnya. Mendapatkan dirinya diserang secara mendadak, Mohammad Syam pun langsung mengelak dan mencoba menjauhkan diri. Belum sempat bertanya lebih jauh, Nyimas Gandasari yang kala itu sedang diperebutkan para jawara dan berbagai pelosok daerah sangat tersinggung dengan ulahnya yang terus menghindar kembali melakukan serangan beruntun. Dengan perasaan dongkol, akhimya, Mohammad Syam memutuskan untuk melayani
lawannya dengan bersungguh hati. Menurut tutur, puluhan bahkan ratusan jurus maut telah dikeluarkan., Lama kelamaan, merasa kesaktiannya masih, berada di bawah pemuda asing yang
sedang dihadapinya, maka, dengan sekali loncatan Nyimas Gandasari pun berucap”Ya Kanjeng Susuhunan Sunan Gunung Jati, Yajabarutihi ila sulthonil alam, Kun Fayakun Lailaha Illalloh Muhammad Rosululloh,” badannya langsung terbang ke awang-awang dengan harapan sang lawan tak mampu mengejamya.
Berbeda dengan Mohammad Syam, mendengar nama Sunan Gunung Jati disebut, sontak hatinya tercekat. Beliau yakin, lawannya past tahu keberadaan manusia pilihan yang tengah dicarinya itu. Dan tanpa menemui banyak kesulitan, beliau langsung dapat menyusul Nyimas Gandasan bahkan berhasil menangkap tangan kanannya. Dengan panik, akhimya, Nyimas Gandasari berhasil melepaskan pegangan sang lawan dan tubuhnya pun menukik tajam pada saat yang sama, Sunan Gunung Jati yang sedang tafakkur di sungai Kalijaga, kedatangan Nyimas Gandasari dengan wajah pucat pasi sambil menuding ke arah sang lawan. Ia memohon kepada gurunya agar si pemuda yang mengejamya tidak melihat keberadaannya.
Dengan izin Allah SWT, dalam hitungan detik, tubuh Nyimas Gandasari berubah menjadi kecil dan bersembunyi di bawah bakiak (terompah terbuat dari kayu) Kanjeng Sunan Gunung Jati yang serta merta bertanya pada pemuda yang baru saja ada di hadapannya, “Wahai Kisanak, apa yang Andika cari di tempat yang sepi ini?
Dengan santun, Mohammad Syam pun menjawab, “Mohon maaf Kisanak, sesungguhnya saya datang ke tempat ini untuk mencari seorang gadis dan meminta bantuannya agar dapat bertemu dengan Sunan Gunung Jati “
Sambil tersenyum, akhimya Sunan Gunung Jati mengembalikan wujud Nyimas Gandasari dan mengingatkan agar yang bersangkutan memenuhi janjinya untuk menikah dengan orang yang mampu mengalahkan kesaktiannya. Dalam perjalanan ini, akhimya Mohammad Syam berganti nama menjadi Pangeran Soka. Dan di penghujung cerita Pangeran Soka dan Nyimas Gandasari akhirriya berikrar untuk meneruskan perjalanan hidupnya menuju ilmu tuhid yang lebih matang hingga mereka berdua mufakat menjalankan nikah bisirri tanpa hubungan badan layaknya suami istri, namun akan bersatu dengan Nikah Hakikiyah kelak di alam surga dengan disaksikan langsung oleh Sunan Gunung Jati Min Quthbil Muthlak ila Jami’il Waliyulloh,
===============
Layar Kemilau "Syekh Magelung Sakti"
VERSI MNCTV...
Ki Gede Karangkendal dan Lima putrinya tengah menempuh perjalanan dengan rakit menyusuri sungai. Tiba-tiba belasan ekor buaya datang menyerang rakit mereka hingga nyaris terbalik. Ke 5 putrinya ketakutan.
Ki Gede Karangkendal melawan buaya dengan bambu sebagai pengayuh rakit. Namun Ki Gede Karangkendal kewalahan juga. Buaya makin ganas hendak menghancurkan rakit. Putri bungsu Ki Gede Karangkendal bahkan terjatuh ke sungai dan nyaris diterkam buaya. Untunglah datang seorang pemuda dengan rambut digelung datang menolong. Soka namanya. Soka yang dapat berjalan di atas air, menghajar semua buaya dengan kesaktiannya yang luar biasa. Gelung rambut Soka terlepas, menjerat raja buaya. Raja buaya itu dilemparkan ke udara, jatuh terhempas di tanah dan mati. Para buaya yang lain jadi takut dan menyingkir. Ki Gede Karangkendal dan ke 5 putrinya tercengang takjub melihat rambut Soka yang panjang tergerai sampai tanah ternyata rambut sakti. Ki Gede Karangkendal mengajak Soka ke rumahnya dan menjamunya.
Ki Gede Karang Kendal yang simpati pada Soka, ingin menjodohkannya dengan salah satu putrinya. Ketampanan Soka membuat ke 5 putri Ki Gede Karangkendal sama-sama tak mau mengalah dan ingin menjadi suami Soka hingga terjadi keributan. Soka lalu berkata, siapa diantara mereka yang bisa memotong rambutnya, berhak menjadi istrinya. Namun ke 5 putri itu tak ada yang sanggup memotong rambutnya, sehingga tak ada yang berhak menjadi istri Soka. Mereka makin sedih dan kecewa karena Soka mengaku hendak menuju Cirebon untuk mengikuti Sayembara Nyi Mas Gandasari yang sakti yang hendak memilih calon suami lewat adu kesaktian. Ki Gede Karangkendal yang gagal menjadikan Soka menantu, memutuskan untuk mengangkat Soka sebagai anaknya.
Atas petunjuk Ki Gede Karangkendal, Soka pergi menuju arah barat Cirebon. Suatu siang, ketika ia pergi ke air terjun untuk mandi, ia bertemu dengan gadis cantik jelita bernama Nyi Mas Gandasari. Nyi Mas Gandasari yang tengah mandi di bawah air terjun, melihat kehadiran Soka, mengira punya maksud jahat. Nyi Mas Gandasari segera menyerang Soka dengan selendangnya yang sakti. Pertarungan selendang melawan rambut panjang soka yang sakti, berlangsung dengan seru. Karena merasa ada salah paham, Soka mengalah. Akhirnya, Soka terbelit selendang Nyi Mas Gandasari. Saat itu, mereka beradu pandang dalam jarak dekat, membuat keduanya sama-sama tergetar. Soka bilang, bahwa dia tidak punya maksud jahat, kenapa diserang. Nyi Mas Gandasari tanya siapa Soka sebenarnya. Soka bilang, kalau orang-orang menyebutnya Magelung Sakti. Ia hendak pergi ke Barat Cirebon untuk mengikuti sayembara Nyi Mas Gandasari yang ingin mencari calon suami. Nyi Mas Gandasari tertawa. Ia bilang kalau Soka tidak akan bisa mengalahkan Nyi Mas Gandasari. Soka bertanya siapa Nyi Mas Gandasari sebenarnya. Namun Nyi Mas Gandasari tidak menjawab dan pergi meninggalkan Soka.
Soka meneruskan perjalanannya. Soka melihat seorang tua bersorban (Sunan Gunung Jati) tengah menangis sedih. Soka penasaran dan bertanya, kenapa dia menangis. Sunan Gunung jati bilang, ia tak sengaja menginjak seekor semut hingga mati. Soka jadi ketawa geli karena Sunan Gunung Jati ternyata Cuma menangisi seekor semut yang mati karena keinjak. Sunan Gunung Jati terus menangis sambil menjawab, bahwa semua mahkluk hidup sama dihadapan Allah. Walaupun dia seekor semut sekalipun. Soka langsung terdiam sambil memperhatikan Sunan Gunung Jati yang menggali tanah dengan jarinya, lalu menguburkan seekor semut yang telah mati itu. Sunan Gunung Jati lalu berdoa, memohon ampun kepada Allah.
Soka jadi heran, kenapa Sunan Gunung Jati yang tak sengaja membunuh semut, malah minta ampunan pada Allah. Soka tanya siapa Allah itu. Sunan Gunung Jati bilang kalau Allah adalah pencipta langit dan bumi serta isinya. Allah yang menciptakan manusia dan mahkluk hidup lainnya. Soka jadi makin tertegun bingung. Soka bertanya kepada Sunan Gunung Jati arah rumah Nyi Mas Gandasari yang membuat sayembara untuk mencari calon suami. Sunan Gunung Jati bilang, mau mengantar Soka ke tempat Nyi Mas Gandasari kalau ia mau menjadi muridnya. Soka bilang, kalau Sunan Gunung Jati bisa memotong rambutnya, ia mau menjadi muridnya.
Sunan Gunung jati memeriksa rambut Soka. Sunan Gunung Jati dapat melihat pancaran cahaya di ubun-ubun kepala Soka. Sunan Gunung jati bilang, dengan ijin Allah ia bisa memotong rambut Soka. Tapi Soka tidak akan bisa mengalahkan Nyi Mas Gandasari tanpa rambutnya itu. Soka jadi terdiam sejenak, lalu ketawa. Soka lalu berjanji, kalau ia bisa mengalahkan Nyi Mas Gandasari, ia akan menjadi murid Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati menyetujuinya.
Singkat cerita.... pada malam bulan purnama.... sampailah Soka dan Sunan Gunung Jati ke tempat sayembara. Soka terkejut melihat Nyi Mas Gandasari ternyata perempuan yang pernah selisih paham dengannya di air terjun. Nyi Mas Gandasari yang sakti mengalahkan semua peserta sayembara. Soka kemudian maju melawan Nyi Mas Gandasari. Pertarungan seru terjadi. Selendang sakti Nyi Mas Gandasari beradu dengan rambut sakti Soka. Akhirnya Soka terbelit selendang Nyi Mas Gandasari sementara Nyi Mas Gandasari juga terbelit rambut Soka. Keduanya tidak ada yang mau kalah. Sunan Gunung jati melompat ke arena, menyudahi pertarungan karena kawatir keduanya sama-sama terbunuh. Sunan Gunung Jati bilang, tidak ada yang kalah dan menang dalam pertarungan itu. Keduanya sama-sama hebat. Sunan Gunung Jati bilang, Soka berhak menjadi suami Nyi Mas Gandasari. Namun Nyi Mas Gandasari menolak menjadi istri Soka karena belum sanggup mengalahkannya. Soka kecewa dan malu, memutuskan untuk jadi murid Sunan Gunung Jati.
Soka memeluk agama Islam dan mempelajari ilmu tasawuf dari Sunan Gunung Jati. Soka mengajak Sunan Gunung Jati ke desa Karangkendal dan menemui ayah angkatnya Ki Gede Karangkendal. Ki Karangkendal dan keluarganya memeluk agama Islam atas permintaan Soka. Selain itu, Ki Gede Karangkendal sudah lama mengenal nama besar Sunan Gunung Jati. Atas batuan Ki Gede Karangkendal, Soka mendirikan pesanggarahan sebagai pusat dakwah di sana. Warga Karang Kendal menjuluki Soka sebagai Syeh Magelung Sakti.
Di suatu kampung yang bernama Kampung Panuragan, semua penduduknya menyembah sebongkah batu besar. Soka datang untuk menyebarkan dakwah Islam di kampung itu. Namun Soka diacuhkan. Upaya Soka agar warga Kampung Panuragan tidak menyembah batu tetapi menyembah Allah tetap tidak membuahkan hasil. Mereka percaya bahwa batu yang mereka sembah secara turun-turun itu telah memberikan penghidupan bagi mereka. Saking kesalnya, pada suatu malam.... dengan kekuatan rambut saktinya Soka menghancurkan batu itu . Keesokan harinya, ketika warga Kampung Panuragan datang untuk melakukan upacara penyembahan batu, mereka kaget karena batu besar yang bisa mereka sembah kini telah hancur berkeping-keping. Soka bilang kalau si batu Tuhan mereka telah mati. Soka mengajak mereka menyembah Tuhan yang baru yaitu Allah. Tapi mereka tak mau menyembah Allah yang tidak mereka kenal. Soka ditinggalkan begitu saja.
Soka lalu berdoa kepada Allah agar menunjukkan kekuasaannya pada warga Kampung Panuragan. Mendadak petir menggelegar di angkasa. Hujan dan badai datang menyerang Kampung Panuragan. Warga Kampung Panuragan panik bukan kepalang. Soka bilang pada warga kampung itu bahwa Allah telah menunjukkan kekuasannya dan memberikan peringatan kepada mereka. Kalau mereka tidak percaya adanya kekuasaan Allah, kampung mereka akan hancur dan tenggelam diguyur hujan lebat dan dihembas badai.
Tetua Kampung Panuragan bilang, kalau Soka bisa meminta Allah untuk menghentikan hujan dan badai itu, mereka baru akan percaya. Soka lalu berdoa pada Allah. Usai berdoa, hujan dan badai langsung berhenti. Warga Kampung Panuragan jadi pecaya pada Soka. Mereka memutuskan memeluk agama Islam.
Waktu terus berlalu... Soka masih terkenang pada Nyi Mas Ayu Gandasari. Soka memutuskan untuk kembali menemui Nyi Mas Gandasari. Namun ia tidak dapat bertemu dengan Nyi Mas Gandasari karena sedang pergi ke suatu tempat. Dalam hati Soka berkata, mungkin Nyi Mas gandasari bukanlah jodohnya. Soka memutuskan untuk kembali ke Pesanggrahan Karang Kendal. Karena kemalaman, Soka terpaksa menginap di gubuk kosong dan sudah rusak karena ditinggal pemiliknya. Karena tidak bisa tidur dan pikirannya terus teringat pada Nyi Mas Gandasari, Soka istighfar dan berdoa pada Allah. Kalau memang Nyi Mas Gandasari adalah jodohnya, tolong didekatkan. Kalau bukan jodohnya, tolong dijauhkan dari pikiran dan poerasaannya. Soka lalu membuka kitab suci Al Quran dan mengaji.
Suara Soka yang mengaji terdengar merdu mendayu penuh perasaan.... Saat itu, Nyi Mas Gandasari dan keluarganya melewati rumah gubuk itu. Mendengar suara merdu Soka yang penuh sedu sedan, membuat Nyi Mas Gandasari dan keluarganya berhenti untuk menyimaknya. Nyi Mas Gandasari tercenung diam, bahkan meneteskan air mata. Ia berjanji dalam hatinya, jika yang mengaji itu adalah seorang pria yang belum bersuami, ia ingin menjadikannya suami. Alangkah terkejutnya Nyi Mas Gandasari, setelah mengetahui yang mengaji di dalam gubuk itu ternyata Soka.
Nyi Mas Gandasari mengaku kalau Soka telah mengalahkan hatinya dengan suara ngajinya. Nyi Mas Gandasari ingin menjadi istri Soka. Soka sangat gembira. Begitu juga dengan keluarga Nyi Mas Gandasari. Nyi Mas Gandasari dan Soka lalu pergi menemui Sunan Gunung Jati untuk minta restu. Sebelum menikah, Soka ingin rambutnya dipotong agar rapih. Dengan mengucap bismillah, Sunan Gunung Jati dapat dengan mudah memotong rambut sakti Soka. Tempat dimana Sunan Gunung Jati memotong rambut Soka, diberi nama Karanggetas.
Soka dan Nyi Mas Gandasari menikah dan menjadi pasangan suami istri yang bahagia. Bersama istri yang dicintai, Soka terus menyebarkan dakwah Islam di pesisir utara pulau Jawa.
Dan ternyata masih banyak versi lainnya lagi....
wallahualam bishshawab....
Komentar
Posting Komentar